Suasana publik sempat memanas ketika potongan video Menteri Agama Nasaruddin Umar tersebar luas. Dalam potongan itu terdengar kalimat yang memicu perdebatan: “Kalau ingin mencari uang, jangan jadi guru, jadilah pedagang.” Banyak yang buru-buru menyimpulkan bahwa ucapan itu merendahkan guru. Namun, benarkah demikian?
Jika video tersebut dilihat utuh, justru terasa berbeda. Ucapan itu disampaikan dalam kegiatan Pendidikan Profesi Guru (PPG) di lingkungan Kementerian Agama — forum yang dirancang untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan guru. Pesannya sederhana: menjadi guru adalah panggilan jiwa, bukan semata mencari keuntungan materi.
Pesan itu bukan hanya kata-kata. Tahun ini saja, lebih dari 200 ribu guru madrasah dan guru Pendidikan Agama telah mengikuti PPG dalam jabatan — melonjak jauh dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sekitar 29 ribu guru. Tidak hanya itu, 227.147 guru non-PNS menerima kenaikan tunjangan profesi Rp500.000 per bulan. Angka-angka itu adalah bukti kepedulian nyata.
Mengapa Nasaruddin Umar begitu peduli pada guru? Jawabannya terletak pada perjalanan hidupnya. Beliau pernah mengajar di madrasah dan pondok pesantren. Bahkan, hingga kini, di tengah kesibukan sebagai Menteri Agama, beliau rutin mengisi pengajian di pondok pesantren, baik secara langsung maupun daring. Pada Oktober 2024, di sela Retret Kabinet Merah Putih di Magelang, ia masih sempat menyampaikan pengajian subuh kepada dua pondok di Sulawesi Selatan via Zoom.
Bukan hanya itu, ayah beliau adalah seorang seorang guru, kepala sekolah, dan pendiri Pondok Pesantren Al-Ikhlas di Ujung, Bone, Sulawesi Selatan, Andi Muhammad Umar. Di masa sulit pemberontakan DI/TII, ketika banyak guru berhenti mengajar karena tak digaji, ia tetap setia mendidik tanpa pamrih. Bahkan, ia mengajar enam kelas dalam sehari sambil menjabat kepala sekolah.
Dari sanalah nilai penghormatan terhadap profesi guru berakar kuat. Bagaimana mungkin seseorang dengan latar seperti itu akan merendahkan guru?
Kegaduhan ini juga menyadarkan kita akan pentingnya literasi digital. Potongan informasi sering kali menggiring opini yang keliru. Padahal, para peserta yang hadir dalam acara PPG tersebut, baik secara langsung maupun virtual, mengatakan:
“Tak ada satu pun perkataan Menteri Agama yang menyakitkan. Justru membangkitkan semangat menjadi guru!”
Nasaruddin Umar bukan hanya berbicara, tetapi juga bertindak. Ia memperjuangkan nasib guru madrasah dalam rapat-rapat dengan DPR, mendorong peningkatan tunjangan, dan membuka akses PPG lebih luas. Ini semua adalah langkah nyata, bukan sekadar janji.
Dari santri menjadi guru, dari guru menjadi Menteri Agama — perjalanan Nasaruddin Umar adalah bukti bahwa kepedulian terhadap guru lahir dari pengalaman. Ucapannya yang sempat viral seharusnya dipahami sebagai pengingat, bukan penghinaan. Ia tidak sedang menolak kesejahteraan guru; justru ia memperjuangkannya.
-Saddam Husain, Dosen Pendidikan Agama Islam