Pimpinan Pondok Pesantren As’adiyah dari Masa ke MasaSejak berdirinya pada tahun 1930, Pengasuh Pondok Pesantren As’adiyah telah mengalami pergantian pimpinan. Berikut Pimpinan As’adiyah dari masa ke masa :
Anre Gurutta (AG) H. M. As’ad. (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade’). Beliau merupakan Mahaguru dari Gurutta Ambo Dalle (1900 – 1996), adalah putra Bugis, yang lahir di Mekkah pada hari Senin 12 Rabi’ul Akhir 1326 H/1907 M dari pasangan Syekh H. Abd. Rasyid, seorang ulama asal Bugis yang bermukim di Makkah al-Mukarramah, dengan Hj. St. Saleha binti H. Abd. Rahman yang bergelar Guru Terru al-Bugisiy.
Pada akhir tahun 1347 H/1928 M, dalam usia sekitar 21 tahun. AG H. M. As’ad merasa terpanggil untuk pulang ke tanah leluhur, tanah Bugis, guna menyebarkan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk tanah Wajo khususnya, dan Sulawesi pada umumnya. Beliau berbekal ilmu pengetahuan agama yang mendalam dan gelora panggilan ilahi, disertai semangat perjuangan yang selalu membara. Pada waktu itu, memang berbagai macam bid’ah dan khurafat masih mewarnai pengamalan agama Islam, oleh karena kurangnya pendidikan dan da’wah Islamiyah kepada mereka.
Langkah pertama yang dilakukan beliau setelah tiba di kota Sengkang adalah mulai mengadakan pengajian khalaqah di rumah kediamannya. Di samping itu beliau mengadakan da’wah Islamiyah di mana-mana, serta membongkar tempat-tempat penyembahan dan berhala-berhala yang ada disekitar kota Sengkang. Pada tahun pertama gerakan beliau, bersama dengan santri-santri yang berdatangan dari daerah Wajo serta daerah-daerah lainnya, beliau berhasil membongkar lebih kurang 200 tempat penyembahan dan berhala.
Pada tahun 1348 H/1929 M, Petta Arung Matoa Wajo, Andi Oddang, meminta nasehat Anre Gurutta H. M. As’ad tentang pembangunan kembali masjid yang dikenal dengan nama Masjid Jami, yang terletak di tengah-tengah kota Sengkang pada waktu itu. Setelah mengadakan permusyawaratan dengan beberapa tokoh masyarakat Wajo, yaitu : (!) AG H. M. As’ad, (2) H. Donggala, (3) La Baderu, (4) La Tajang, (5) Asten Pensiun, dan (6) Guru Maudu, maka dicapailah kesepakatan bahwa mesjid yang sudah tua itu perlu dibangun kembali. Pembangunan kembali masjid itu dimulai pada bulan Rabiul Awal 1348 H/1929 M, dan selesai pada bulan Rabiul Awal 1349/1930 M. Setelah selesai pembangunannya, maka Masjid Jami itu diserahkan oleh Petta Arung Matoa Wajo Andi Oddang kepada AG H. M. As’ad untuk digunakan sebagai tempat pengajian, pendidikan, dan da’wah Islam. Sejak itulah beliau mendirikan madrasah di Mesjid Jami’ itu, dan diberi nama al-Madrasah al-‘Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo.
Tingkatan-tingkatan yang beliau bina pada waktu itu adalah:
1. Tahdiriyah, 3 tahun
2. Ibtidaiyah, 4 tahun
3. Tsanawiyah, 3 tahun
4. I’dadiyah, 1 tahun
5. Aliyah, 3 tahun
Semua kegiatan persekolahan ini dipimpin langsung oleh AG H. M. As’ad, dibantu oleh dua orang ulama besar, yaitu Sayid Abdullah Dahlan garut, ex. Mufti Besar Madinah al-Munawwarah, dan Syekh Abdul Jawad Bone. Beliau juga dibantu oleh murid-murid senior beliau seperti AG H. Daud Ismali, dan almarhum AG H. Abd. Rahman Ambo Dalle.
Pengajian khalaqah (pesantren) yang diadakan setiap ba’da shalat Subuh, ba’da shalat Ashar, dan ba’da shalat Magrib, yang semula diadakan di rumah beliau, dipindahkan kegiatannya ke Mesjid Jami Sengkang.
Pesantren dan Madrasah yang didirikan dan dibina oleh beliau itulah yang menjadi cikal bakal Pondok Pesantren As’adiyah sekarang.
Selain Pesantren dan Madrasah tersebut di atas, AG H. M. As’ad juga membuka suatu lembaga pendidikan yang baru, yaitu Tahfizul Qur’an, yang dipimpin langsung oleh beliau, dan bertempat di Masjid Jami Sengkang.
Pada tahun 1350 H/1931 M. atas prakarsa Andi Cella Petta Patolae (Petta Ennengnge), dengan dukungan tokoh-tokoh masyarakat Wajo, dibangunlah gedung berlantai dua di samping belakang Masjid Jami Sengkang. Bangunan itu diperuntukkah bagi kegiatan al-Madrasah al-Arabiyyah al-Islamiyyah (MAI) Wajo, karena santrinya semakin bertambah.
AG H. M. As’ad berpulang ke rahmatullah pada hari Senin 12 Rabiul Akhir 1372 H/29 Desember 1952 M. dalam usia 45 tahun. Sesuai dengan wasiat beliau beberapa saat sebelum wafat, peninggalan beliau berupa Madrasah dan pesantren kemudian dilanjutkan pembinaannya oleh dua murid senior beliau; AG H. Daud Ismail, dan AG H. M. Yunus Martan.
Pada tanggal 13 Agustus 1999, berdasarkan Undang-undang No. 6 Tahun 1959, dan Keppres RI No. 076/TK/Tahun 1999, Presiden RI telah menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Mahaputra Naraya kepada AG H. M. As’ad, karena jasa-jasa beliau yang luar biasa terhadapa negara dan bangsa Indonesia. Tanda penghormatan itu diterima di Jakarta atas nama beliau oleh putra beliau, H. Abd. Rahman As’ad
Suku Bugis yang berdiam di Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, namun demikian suku ini juga menyebar ke berbagai daerah di Nusantara. Dalam tradisi masyarakat Bugis, gelar Anregurutta dapat diibaratkan sebagai professor di dunia kademik. . Jika orang luar Sulawesi Selatan mendengar seseorang warga yang menyebutkan Anregurutta kepada seorang tokoh, tentu sang tokoh tersebut termasuk kategori ulama yang disegani. Anregurutta menempati status sosialnya yang tinggi dan kedudukan terhormat di mata masyarakat Bugis.
Pemberian gelar Anregurutta bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat, atas ketinggian ilmu, pengabdian dan jasanya dalam dakwah keislaman. Tidak semua yang mengajar agama dipanggil sebagai Anregurutta, tergantung dari tingkat keilmuannya. Selain itu, masyarakat Bugis juga meyakini adanya kelebihan Anregurutta berupa karomah, dalam bahasa Bugis disebut makarama.
Para muballigh misalnya, ada juga yang tetap dipanggil Ustadz, yaitu orang yang membawakan khutbah dan ceramah di masyarakat. Namun belum bisa dijadikan sebagai suatu rujukan bertanya berbagai hal keagamaan. Sementara posisi tingkat Anregurutta ini dijadikan sebagai tempat bertanya berbagai persoalan dan kehidupan secara umum. Ustadz dikenal hanya dalam kelompok kecil, misalnya kelompok pengajian dan ceramah-ceramah umum.
Salah satu di antara para pejuang dakwah islamiyah di tanah Bugis yang digelarai Anregurutta ini adalah Anregurutta Haji (AGH) Daud Ismail. Sosok ulama besar Sulawesi Selatan yang memiliki peran penting terhadap pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan. Beliau adalah salah seorang arsitek berdirinya Datud Da’wa wal Irsyad (DDI) bersama almarhum AGH Abdurrahman Ambo Dalle dan AGH Muhammad Abduh Pabbajah serta ulama-ulama sunni Sulawesi Selatan lainnya. Gurutta Daud Ismail juga dikenal sebagai ulama ahli tafsir bahkan ia berhasil membuat tafsir (terjemahan) Al-Qur’an sebanyak 30 juz dalam bahasa Bugis.
Beliau Lahir di Cenrana Kecamatan Lalabata Kabupaten Soppeng tahun 1907 M., buah perkawinan dari pasangan H. Ismail dan Hj. Pompola. Daud Ismail mengawali pendidikannya dari kolong rumah. Di sana Gurutta mulai belajar mengaji Al-Qur’an pada orang tua kandungnya. Kemudian melanjutkan pendidikan ke pesantren-pesantren di Sengkang. Dari sinilah Daud Ismail memiliki banyak guru dari kalangan ulama Sengkang.
Daud Ismail adalah seorang yang otodidak, sejak kecil belajar sendiri untuk mengenal aksara Lontara dan Latin. Kendati demikian, beliau juga pernah menimba ilmu pada banyak guru, baik di Soppeng (Kabupaten Soppeng) maupun di Soppeng Riaja (Kabupaten Barru), Sulawesi Selatan. Antara tahun 1925 – 1929 Daud Ismail juga belajar kitab qawaid di Lapasu Soppeng Riaja, sekitar 10 KM dari Mangkoso, 40 KM dari Kota Pare Pare. Di sana Daud Ismail belajar pada seorang ulama yang bernama Haji Daeng. Pada masa itu pula Daud Ismail belajar kepada Qadhi Soppeng Riaja, H, Kittab.
Setelah Anregurutta H. Muhammad As’ad kembali dari Tanah Suci dan mendirikan Pesantren Bugis di Sengkang pada tahun 1927 yang bernama Al-Madrasatul Arabiyah Al-Islamiyah (MAI), maka pada tahun 1930 Daud Ismail kembali ke Sengkang untuk belajar kepada Anregurutta H.M. As’ad dan termasuk santri angkatan II, setelah Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle.
MAI ini merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua yang dikenal masyarakat di Sulawesi Selatan. MAI Sengkang Wajo didirikan pada bulan Zulkaidah 1348 H. atau bertepatan bulan Mei 1930 M. oleh Anregurutta As’ad yang baru saja kembali dari Mekkah pada tahun 1928 setelah menyelesaikan masa belajarnya pada Madrasah Al-Falah Mekah. Pada awal-awal berdirinya, MAI Sengkang Wajo hanya merupakan pengajian pesantren yang pelaksanaannya mengambil tempat di rumah kediaman Anregurutta As’ad sendiri. Setelah santrinya bertambah banyak tempat pelaksanaan pengajiannya dipindahkan ke Masjid Jami’ Sengkang.
Selama belajar di Sengkang Daud Ismail merasakan banyak sekali kemajuan khususnya dalam menguasai kunci ilmu-ilmu agama. Misalnya, Ilmu Qawaid, Ilmu Arudh, Ilmu Ushul Fiqhi, Ilmu Mantiq dan lain-lainnya. Hal itu cukup dirasakan oleh Daud Ismail karena metode mengajar yang diterapkan oleh Gurutta H.M. As’ad terbilang sudah lebih maju dari metode yang didapatkan sebelumnya. Sehingga menurut pengakuan Daud Ismail, santri-santrinya cepat menguasai apa yang diajarkan.
Salah satu kesan mendalam Daud Ismail kepada Anregurutta As`ad, ketika gurunya ini mengajarkan ilmu Arudh yang diajarkan setelah Shalat Isya, hingga larut malam. Bahkan terkadang sampai sekitar jam satu malam. Anehnya, Gurutta Daud Ismail hanya diajarkan ilmu Arudh ini selama satu malam saja. Keesokan harinya beliau langsung diberi kitab untuk dipelajari sendiri.
Inilah salah satu kelebihan dan keunikan Anregurutta As`ad dalam mendidik santri-santrinya. Misalnya, ketika belajar ilmu Arudh ini, Anregurutta As’ad hanya memilih sejumlah santri pilihan untuk diajar satu malam saja memberikan penjelasan kepada santrinya tanpa buku pegangan. Namun keesokan harinya santri-santrinya telah mampu menerapkannya dalam menelaah kitab kuning. Padahal ilmu Arudh termasuk salah satu cabang ilmu yang paling sukar dipelajari di dunia pesantren.
Setelah belajar langsung kepada Anregurutta As`ad di Sengkang, Daud Ismail kemudian dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, meskipun beliau tetap belajar kepada Anregurutta As’ad. Kebetulan pada waktu itu, belum ada tingkat Aliyah. Sejak saat itulah, orang-orang mulai memanggilnya Gurutta (panggilan kehormatan setingkat di bawah Anregurutta) Daud Ismail.
Bersama Gurutta Daud Ismail ini pula Anregurutta As’ad membentuk tim pengajar. Sehingga Anregurutta As`ad tidak lagi langsung berhadapan dengan santri-santri baru (yunior). Tapi hanya berhadapan langsung dengan beberapa santri senior. Dari santri senior inilah kemudian mengajarkan kepada santri yang lain sesuai tingkatan masing-masing.
Gurutta Daud Ismail temasuk santri yang paling disayangi oleh Anregurutta As`ad. Hal itu dibuktikan dengan ketatnya pengawasan kepada beliau. Gurutta Daud Ismail tidak diizinkan meninggalkan pesantren, hingga memasuki masa sulit ketika harus meninggalkan Sengkang.
“Laing memetto gurutta Sade` usedding batena mappa`guru”, (Saya merasakan memang agak lain waktu saya belajar pada Gurutta Sade – panggilan akrab bagi Anregurutta Muhammad As`ad – dibanding waktu saya belajar di tempat lain), demikian kenang Gurutta Daud Ismail tentang gurunya ini.
Pada tahun 1942, ketika pecah perang dunia II, merupakan masa sulit yang dialami Gurutta Daud Ismail. Kondisi tersebut membuatnya terpaksa meninggalkan Sengkang untuk kembali ke kampung halamannya di Soppeng. Salah satu cobaan berat Gurutta Daud Ismail yang ketika ini adalah waktu itu adalah berpulangnya istri pertama ke Rahmatullah.
Tak lama kemudian, pada tahun 1942 – 1943 beliau diminta mengajar di Al-Madrasatul Amiriyah Watang soppeng menggantikan Sayyed Masse. Dan waktu itu juga beliau diangkat menjadi Imam Besar (Imam Lompo). Hingga akhirnya beliau memutuskan meninggalkan perguruan tersebut, karena dibatasi gerakannya oleh Nippon dan adanya latihan menjadi tentara Jepang (PETA)
Pada tahun 1942 M. ini pula Daud Ismail diangkat sebagai Imam Besar di Lalabata, Kabupaten Soppeng, sambil mengajar pada sebuah madrasah. Beliau juga pernah menjadi guru pribadi bagi keluarga Datu Pattojo, tepatnya pada tahun 1944. Karena diakui sebagai seorang ulama yang berilmu luas dan mendalam, Daud Ismail diangkat sebagai Kadhi (hakim) di Kabupaten Soppeng pada tahun 1947. Jabatan ini beliau sandang hingga tahun 1951. Kemudian antara tahun 1951-1953, beliau menjabat sebagai pegawai di bidang kepenghuluan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Bone. Sejak saat ini Daud Ismail telah mulai biasa disapa sebagai Anregurutta.
Sepeninggal Anregurutta As‘ad (1952 M), Anregurutta Daud Ismail diminta oleh para pemuka masyarakat Wajo dan sesepuh Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) untuk datang ke Sengkang melanjutkan pembinaan madrasah yang ditinggalkan oleh Anregurutta Muhammad As‘ad. Pada tahun 1953 nama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) diubah pada tahun 1953 menjadi Madrasah As‘adiyah sebagai penghormatan dan penghargaan kepada Anregurutta M. As‘ad.
Kembali ke Sengkang merupakan wasiat dari Anregurutta As’ad, bahwa Gurutta Daud Ismail harus kembali ke Sengkang untuk memimpin MAI. Maka meskipun dengan resiko harus meninggalkan status pegawai negerinya, Anregurutta tetap memenuhi wasiat gurunya tersebut. Namun. Anregurutta Daud Ismail hanya menetap dan memimpin MAI Sengkang selama 8 tahun. Karena adanya desakan dari Soppeng agar beliau kembali membina madrasah di daerahnya. apalagi waktu itu beliau merasa sudah ada kader-kader ulama yang dapat menggantikan Anregurutta Daud Ismail.
Setelah meninggalkan Sengkang pada tahun 1961, Anregurutta Daud Ismail kembali ke Soppeng. Ia mendirikan sekaligus mengetuai Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB) dan membuka Madrasah Muallimin pada tahun 1967. Pada masa ini Anregurutta Daud ismail juga diangkat kembali menjadi Qadhi (untuk kedua kalinya) di Soppeng.
Suku Bugis dikenal sebagai salah satu suku di Indonesia yang sangat kental menganut dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Untuk keperluan itu, mereka sangat bergantung pada apa yang mereka peroleh dari al-Qur‘ân, sehingga tafsir al-Qur‘ân memegang peranan penting dalam kehidupan keagamaannya.
Atas dasar yang demikian, maka Anregurutta Daud Ismail melahirkan sebuah karya tafsir berbahasa Bugis. Upaya ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat Bugis untuk lebih mudah mengakses dan memahaminya. Terutama sekali adalah agar adanya aksara Lontara, yaitu huruf abjad bahasa Bugis, tidak lekas punah.
Tujuan beliau menyusun buku tafsirnya adalah untuk memelihara bahasa Bugis dari kepunahan. Untuk itu, beliau berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid, sehingga jemaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.
Anregurutta Daud Ismail berharap agar karyanya itu ditempatkan di masjid-masjid, sehingga jamaah dapat dengan mudah membacanya. Hal ini merupakan salah satu upaya mempertahankan eksistensi bahasa Bugis.
Sejarah eksistensi terjemah dan tafsir Al-Qur’an, di Sulawesi Selatan sendiri sudah cukup panjang. Upaya untuk menerjemahkan dan menafsirkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Bugis telah dimulai sejak tahun 1948. Pada waktu itu, sebuah buku tafsir kecil terbit di Sengkang (Kab. Wajo) yang ditulis oleh Anregurutta M. As‘ad (w. 1952 M), guru dari Anregurutta Daud Ismail. Karya lain yang pernah ditulis Anregurutta Daud Ismail, antara lain Ashshalatu Miftahu Kulli Khaer (bahasa Bugis), Carana Puasae, kitab-kitab ini ditulis dalam bahasa Bugis. Sementara Tafsir dan Tarjamah Al-Qur’an 30 Juz dalam bahasa Bugis merupakan karya tulis terbesarnya.
Anregurutta Daud Ismail memimpin Pondok Pesantren YASRIB sampai menghembuskan napas terakhirnya. Anregurutta Daud Ismail menghadap ke hadirat Allah SWT dalam usia 99 tahun pada Senin 21 Agustus 2006 sekitar pukul 20.00 WITA, setelah sempat dirawat selama tiga pekan, di Rumah Sakit Hikmah, Makassar. Anregurutta Daud Ismail masih menjabat sebagai Kadhi di Kabupaten Soppeng. Selain itu amanah yang masih disandangnya adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Soppeng tahun 1993-2005.
Anre Gurutta Haji Muhmammad Yunus Martan lahir di Wattang Desa Leppangeng Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo pada hari Jum’at 28 Muharram 1332 H, bertepatan dengan tahun 1914 M, dan beliau meninggal dunia di Makassar padari hari Selasa 22 Juli 1986, setelah menjalani perawatan di rumah sakit Islam Faisal Makassar.
Ayahnya bernama Anregurutta H. Martan, beliau adalah seorang ulama yang arif dan menguasai ilmu pengatahuan agama Islam, membuka pengajian untuk memberikan taushia kepada masyarakat Islam di Belawa. Beliau AG. H. Martan diangkat menjadi qadhi pertama waktu itu. (Qadhi artinya adalah seorang hakim yang membuat keputusan berdasarkan syariat Islam)
Anregurutta H. Martan menuaikan ibadah haji sebanyak delapan kali dan pernah tinggal di Makkah selama tuju tahun dan selama itu Ia juga dengan tekun mempelajari ilmu pengatahuan Islam pada beberapa ulama besar di Masjid al-Haram Makkah. Setelah kembali ke tanah kelahirannya di Belawa Kabupaten Wajo, beliu menikah dengan seorang gadis bernama Isainah, dari perkawinannya itu mereka dikaruniai oleh Allah Swt seorang anak perempuan bernama I Dahalang, namun tidak berapa lama setelah kelahiran anak perempuannya, istrinya meninggal dunia.
Sepeninggal isterinya Anregurutta H. Martan menikah kembali dengan seorang janda bernama Hj. Tanripung ( Hj. Shafiah) yang berasal dari Kabupaten Soppeng pada tahun 1920 M. Dari hasil perkawinan inilah beliau dikaruniai dua orang putera yang bernama Muhammad Yunus (AG.H. Muhammad Yunus) dan Abd. Halim, tidak lama kemudian istrinya yang kedua meninggal pula. Beliau AG.H. Martan kembali menikah dengan seorang gadis yang bernama Jamilah dari Kampung Lautan Desa Menge Kecamatan Belawa dan perkawinannya dikaruniai anak empat orang, yaitu Napisah, Subaedah, Abdullah (AG.H. Abdullah Martan, Lc) dan Asmah.
AG. H. Martan menanamkan dasar-dasar pendidikan agama Islam bagi anak-anaknya, terbukti diantara anak-anaknya lahir ulama besar yaitu AG.H. Muhammad Yunus Martan dan Abdullah Martan, Lc.
Anregurutta H. Muhammad Yunus Martan atau sering disapa dikalangan warga as’adiyah “Gurutta Yunus” mengikuti jejak ayahnya yakni menjadi seorang Kiya i. Sejak masa kecilnya beliau selalu ikut pada kedua orang tuanya dan bahkan diikut sertakan menuaikan ibadah haji sebelum masuk sekolah rakyat. Beliau menuaikan ibadah haji sebanyak tuju kali. Selama bermukim di Makkah beliau mengikuti pendidikan di Madrasah Al-Falah, serta mengikuti pengajian khalaqah di Masjid Haram yang diberikan oleh para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Setelah H. Muhmmad Yunus menyelesaikan pendidikannya pada Madrasah Al-Falah di Makkah dan melanjutkan pada pesantren di Masjid Al-Haram Makkah, Beliau kembali ke kampung halamannya Menge Belawa. Tidak beberapa lama kemudian pada Tahun 1953 beliau menikah dengan Hajja Baru (H. Karitini) seorang gadis kembang desa mudah belia berusia 12 Tahun. Dari perkawinannya ini mereka dikaruniai putra putri sebanyak tuju orang yakni Hj. Fatimah, Hj. Faridhah, Prof. Dr. H. Rafii Yunus Martan, MA., Ph.D., Hj. Ruqaiyyah (Istri almarhum Prof. Dr. H. Abd. Rahman Musa), Hj. Zaenab BA., Dra. Hj. Ummu Kalsum M.Ag., (istri Prof. Dr. Abd. Karim Hafid, MA), dan Hj. Khusniah, BA (istri Drs. H. Muhammad Rum Nessa, SH., MH., Sekertaris Mahkama Agung 2005. Pada tahun 1965 istri Gurutta Yunus berpulang kerahmatullah.
Di tengah-tengah kesibukannya mengurus Perguruan As’adiyah dan melayani ummat, beliau tidak meninggalkan tanggung jawabnya dalam mendidik anak-anaknya, beliau hanya membimbing dengan penuh kasih sayang untuk menghargai orang lain dan akhlakul karimah dan tutur kata yang santun dan sopan.
Setelah istri pertamanya meninggal dunia, Anregurutta H. Muhammad Yunus Martan menikah kembali dengan seorang gadis dari belawa yang bernama Hj. Husna (13 tahun) pada tahun 1966 dari perkawinannya tersebut mereka dikaruniai lima orang putra putri yaitu Warda (Istri Drs. H. Husain Malik), Kafrawi, Nurul Huda, Nur Fadillah dan Iqbal.
Hj. Husna yang setia mendampingi beliau dalam suka dan duka sejak tahun 1966 M sampai beliau meninggal dunia setelah menjalani perawatan di Rumah Sakit Islam Faisal Makassar pada tanggal 22 Juli 1986 M.
Anre Gurutta. H. Abdul Malik adalah sosok ulama yang harum namanya dan menjadi panutan msyarakat Islam di Sulawesi khususya di Kab. Wajo, sebagai seorang ulama yang sadar akan memikul amanah dalam menyampaikan risalah Agama Islam sebaian hidup dan kehidupannya dicurahkan untuk menyampaikan Risalah-Nya. Nama lengkap Beliau ABDUL MALIK nama penggilanya Gurutta MALIK namun yang populer dengan panggilan ANRE GURUTTA, Gelar ini merupakan pengakuan masyarakat Islam di daerah Bugis sulawesi selatan. AG.H. ABDUL MALIK, Lahir pada tahun 1922 M, disalah satu kampung yg bernama Timoreng Desa Limporilau Kec. Belawa Kab. Wajo. dan meninggal dunia di Ujung Pandang/Makassar, pada tgl 24 Juni 2000 M. dan dikuburkan di Belawa Kab. Wajo. Ayahnya Bernama H. Muhammad seorang tokoh masyarkat yg menguasai Ilmu Agama Islam dan sangat dihormati oleh masyarakat Mange Belawa Kab. Wajo. dan Ibunya bernama Hj, Muhana seorang perempuan yang saleh dan aktif dalam berbagai pengajian di kampung halamannya.
Dari perkawinan Muhammad dengan Muhana mereka dikaruniai tiga anak, diantaranya: Hj. Lanna, Hj. Summa dan H. Abd. Malik (AGH. ABDUL MALIK). Sebagai anak bungsu dan satu-satunya laki-laki Abd. Malik mendapatkan perhatian dan curahan kasih sayang orang tuanya, Muhammad adalah orangtua yang bijaksana, meskipun Abd. Malik tumpuan harapan satu-satunya untuk melanjutkan cita-citanya ke arah yang lebih maju, Muhammad tetap memberikan kesempatan kepada anaknya untuk bergaul dan bermain sebagaimana anak2 sebaya lainnya. Abd. Malik tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang agamais.
Tahun 1947 M. Abd. Malik Kawin dengna Zubaedah saudara sebapak dengan AG.KH. Yunus Maratan. dan putri AGH. Maratan seorang Qadhi dan ulama besar. dari perkawinannya mereka dikaruniai enam orang putra-putri: 1. Hafsah, 2. H. Abd. Muiz, 3. H. Husain, 4. Hj. Maryam, 5. H. Syarifuddin, 6. Drs. H. Muh. Zuhdi, tidak beberapa lama setelah lahir putra-putrinya istri tercinta yang mendampinginya selama di Makkah Al-Mukarramah dipanggil oleh Allah Swt. Setelah istri pertamanya meninggal dunia AGH. ABDUL MALIK kawin lagi pada tahun 1962 M. dengan seorang gadis yang bernama Hj. Suwarsiah dar perkawinannya yang kedua mereka dikaruniai oleh Allah swt. anak 10 orang. diantaranya: 1. H. Mizwar, 2. Nurbayati, 3. Anas, 4. Alauddin, 5. Fakhrussalam, 6. Nru Alam, 7. Anwar Sadat, 8. St. Ridha, 9. Afidah, 10. Nurul Kamar.
Sebelum GURUTTA MALIK memasuki jenjang pendidikan formal beliau belajar mengaji dibawa bimbingan orang tuanya (H. Muhammad). selama 3 bulan GURUTTA MALIK mampu menamatkan dan lancar membaca Al-qur’an. pendidikan formalnya dimulai di sekolah Muhammadiyah Belawa (1930-1934), setelah menamatkan pendidikannya di sekolah Muhammadiyah Beliau tetap mengikuti pengajian yang ada di kampung halamannya bersama masyarakat, Sejak kecil GURUTTA MALIK memperlihatkan tanda2 kalau kelak nanti akan menjadi ulama besar dan mahsyur di Masyarakat, karena keuletan dan ketekunannya mengikuti pengajian. Setelah mendengar kabar dari beberapa ulama di Belawa, bahwa di Sengkang ada ulama Besar Anre Gurutta Syekh Haji Muhammad As’ad keturunan Bugis yang lahir di Makkah Al-Mukarramah membuka pengajian Khalaqah yang diikuti santri dari berbagai daerah GURUTTA MALIK meminta doa restu kepada kedua orang tuanya yang tercinta meninggalkan kampung halamannya menuju sengkang untuk melanjutkan pendidikannya. pada tahun 1935-1941 GURUTTA MALIK mengikuti pendidikan pada Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di sengkang. yang didirikan oleh Anre Gurutta Syekh Haji Muhammad As’ad.
Selama di sengkang Beliau sangat giat belajar mengaji dan memperdalam ilmu agamanya pada beberapa ulama besar pembina Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI). Berbekal pengalaman yang masih hijauh sebagai guru bantu selama di sengkang dan demi mengembang amanah yang berat dari Anre Gurutta Syekh Haji Muhammad As’ad yang mengutusya, GURUTTA MALIK kembali kekampung halamannya Belawa mengajarkan ilmu yang diperolehnya dan mengembangkan dakwah islamiyah di tengah2 masyarakat. Pada tahun 1947 GURUTTA MALIK berangkat ke tanah suci Makkah Al-Mukarramah bersama istrinya Zubaedah atas izin orang tua dan mertuanya untuk menghafal al-qur’an pada seorang Ulama penghafal Al-qur’an yang berada di Mesjid Haram Makkah Al-Mukarramah. berkat ketekunan dan kecerdasan beliau serta doa dari orang tuanya GURUTTA MALIK mampu menamatkan hafalan Al-qur’an 30 Juz dalam kurung waktu satu tahun lebih. setelah manamatkan hafalannya GURUTTA MALIK yang sangat mencntai pengetahuan , kemudian mengikuti pengajian di pesantren Darul Ulum Addiniyah pada tahun 1948-1949, pesantren ini mengajarkan kitab-kitab klasik Islam dari beberapa ulama besar di Makkah Al-Mukarramah.
Pengalaman mengajar AG. KH. ABDUL MALIK mulai tahun 1940-1941 di Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di sengkang. waktu itu GURUTTA MALIK masi berstatus santri namun karena amanah dan kepercayaan dari Anre Gurutta KH. Muhammad As’ad yang menjadi gurunya dia melaksanakan tugas itu dengan ikhlas walaupun tidak diberikan honor. Karena prinsip yang melekat pada GURUTTA MALIK Barang siapa mengajarkan satu huruf Insya Allah akan ditambahkan ilmunya oleh Allah swt. Berdasrkan pengalaman Beliau mengajar kurang lebih satu tahun GURUTTA MALIK diberikan amanah sebagai kepala sekolah Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) di Belawa pada tahun 1941-1947 M. menurut putrinya ketika Beliau di Makkah ditengah-tengah kesibukannya menghafal al-qur’an Beliau juga sempat mengajar mengaji kepada warga mukmin dari berbagai penjuru dunia. .Pada tahun 1947 sekembali dari Makkah AG. KH. ABDUL MALIK diangkat menjadi Qadhi di Belawa, sebuah amanah yang cukup berat. sebagai Qadhi dan tokoh masyarakat beliau ramah dan murah senyum dan tidak membeda-bedakan masyarkat, selama tinggal di Belawa AG. KH. ABDUL MALIK aktif memberikan pengajian di mesjid jami Belawa sekaligus membangun dan memperluas mesjid jami Belawa sehingga pada bulan Ramadhan pengunjung dari berbagai daerah seperti Pare-pare, Barru, sidrap, bone dan masyarkat wajo datang berkunjung meyaksikan keberagaman masyarkat Belawa dan mendengarkan pengajian yang dibawkan oleh AG. KH. ABDUL MALIK.
Intensitas pengajian GURUTTA MALIK pasca dari Makkah semakin meningkat baik sebelum shalat Isya maupun sesudah Shalat subuh, bagi laki2 dewasa diwajibkan ikut melaksanakan shalat jumat sedangkan bagi peremupan Beliau mengadakan pengajian hari kamis yang disebut dengan MAKKAMMISI,. Selain pengajian diadakan di Belawa AG. KH. ABDUL MALIK juga mengadakan secara intensif pengajian di Wonomulyo Kab. Polman sulawesi Barat dua kali dalam satu bulan, dalam pengajian tersebut awal hanya dihadiri oleh para pedangan yg berasal dari Belawa yang pada saat itu merantau dan lama kelamaan masyarakat setempatpun ikt dalam pengajian yang diadakan oleh AG. KH. ABDUL MALIK Kiprahya dalam bidang politik pernah diamanahkan sebagai ketua anak cabang Masyumi Kec. Belawa pada tahun 1950-1959 M. kemudian pada tahun 1963-1987 Beliau memangku jabatan sebagai ketua MWC. Nahdatul Ulama Kec. Belawa kemudian beliau juga terpilih sebgai mustsyar Nahdatul Ulama Kab. Wajo pada tahun 1988, keyakinan beliau memikul amanah sebgai pemimpin umat senangtiasa dikembalikan kepada Allah swt. manusia hanya bisa berebcana itulah menjadi dasar perjuangan AG. KH. ABDUL MALIK…Keberhasilan AG. KH. ABDUL MALIK memimpin dalam memimpin Madrasah As’adiyah di Belawa menjadi pertimbangan utama para peserta Muktamar Ke- VIII As’adiyah di kota Sengkang pada tgl 14-16 juni 1988 memilih beliau sebagai ketua umum BP, As’adiyah yang ke-V, terpilihya sebagai Ketua Umum PB As’adiyah dalam Muktamar ke-VIII As’adiyah merupakan amanat besar dalam meningkatkan perguruan As’adiyah kedepannya.
AG. KH. ABDUL MALIK selaku Ketua Umum PB As’adiyah memanfaatkan potensi alumni As’adiyah yang sukses diberbagai bidang dan memperkuat jaringan baik dalam negeri maupun jaringan luar negeri(Pemerintah Saudi arabiyah dan Universitas Al-azhar Kairo mesir).
Pada umumnya masyarakat sulawesi selatan dan kab.Wajo khusunya dapat dikatakan sebagai masyarakat adat, adat tersebut merupakan hasil dari wujud budaya yang amat besar pengaruhya terhadap prilaku masyarakt, sehingga konsep pelaksaan dakwah yang diterapkan oleh AG. KH. ABDUL MALIK sangat menitip beratkan kepada pemurnian akidah Islam, karena pemahaman masyarakat waktu itu menganggap bahwa mencampur adukan islam dengan dogma yang mereka warisi dari nenek moyangnya seperti pemahaman yang berkembang saat itu istilah Sempajang Teppettu, Jenne Telluka penafsiran yang semacam ini menurut AG. KH. ABDUL MALIK sangat keliru dan bertentangan ajaran Islam, oleh karena itu AG. KH. ABDUL MALIK mengadakan kunjungan di pelosok desa yang ada di Kab. Wajo suatu hal yang tidak pernah Beliua Sampaikan yakni pemurnian Aqidah Islam hankan tidak ragu dan segan mengutarakan tentang bahaya syirik yang merupakan dosa besar.
AG. KH. ABDUL MALIK juga tidak terlepas dari wasiat AG.KH. Muh. As’ad yaitu para santri dan masyarkat dan dilakukan dengan 2 cara yaitu formal dan non formal seperi di Madrasah/sekolah dan pengajian Khalaqah di mesjid. AG. KH. ABDUL MALIK berpendapat bahwa sebelum anak mengenal dan mengecap pendidikan maka anak lebih dahulu dibekali dengna pendidikan dan nilai2 keagamaan, hal ini disebabkan karena pada masa kanak-kanak merupakan suatau masa anak sangat peka menerima rangsangan dari luar.
Disamping AG. KH. ABDUL MALIK melakukan dakwah dan mendirikan lembaga pendidikan Islam Beliau juga membina kader-kader muballigh dalam melakukan dakwah di tengah-tengah masyarakat. Berkat usaha yang dilakukan oleh AG. KH. ABDUL MALIK perkembangan islam mengalami peningkatan berkat kerjasama dengan santri yang dibinanya selama ini.
Usaha-usaha AG. KH. ABDUL MALIK melalui dakwah maupun dalam bidang pendidikan untuk mengembangkan islam di Kab. Wajo tentunya mendapatkan tantangan sama dengan yang dialami oleh para ulama lainnya. pada umumnya mereka mengalami hambatan yang sama namun cara mengatasinya yang berbeda, karena masing-masing mempunyai metode tersendiri. Adapun hamabatan yang dialami AG. KH. ABDUL MALIK ialah adanya aliran-aliran yang timbul dari umat islam itu sendiri kepercayaan di luar islam seperti kepercayaan yang anut oleh masyarakat towani Tolotang dan sebagian umat islam masih menganut paham animisme, akan tetapi Beliau tidak pernah mundur menghadapi hambatan tersebut, karena belia selalu mencari solusinya, adapun motede yang dipakai Beliau dalam mengatasi hambatan tersebut yaitu dengan cara pendekatan nasehat, hikmat, persuasif serta pendakatan secara adat istiadat/kebudayaan dmasyarakat.
Tak pernah terbayangkan dalam benak Anregurutta Prof. Dr. H. M. Rafii Yunus Martan, MA jika dikemudian hari akan menjadi pemimpin organisasi / lembaga pendidikan besar dengan ratusan cabang yang tersebar dilebih dari setengah jumlah provinsi seantero nusantara, yakni Pesantren As’adiyah yang berpusat di Jalan Veteran Sengkang Sulawesi Selatan. Beliau mengawali jenjang pendidikan dengan belajar di Madrasah Arabiyatul Islamiyah (MAI) Belawa yang didirikan oleh Ayahanda Anregurutta Kyai Haji Yunus Maratan pada usia 6 tahun atau sekitar tahun 1947. pada masa itu Gurutta belajar kita kuning dan Bahasa Arab dari Ayahanda (Gurutta Yunus Maratan) sedangkan menghafal Al-Qur’an beliau dibina lansung oleh Anregurutta Kyai Haji Abdul Malik Muhammad.
Setelah tamat di Madrasah Arabiyatul Islamiyah (MAI) Belawa sekitar tahun 1953 beliau hijra ke Sengkang Kabupaten Wajo mengikuti Ayahanda (Gurutta Yunus) karena permintaan Anregurutta Kyai Haji Daud Ismail untuk didampingi bersama sama memimpin dan mengelolah Pondok Pesantren (Ponpes) As’adiyah peninggalan Al–Alimul Allamah Anre Gurutta H. M. As’ad (Dalam masyarakat Bugis dahulu beliau digelar Anre Gurutta Puang Aji Sade‘)
Sementara itu Gurutta Rafii kembali melanjutkan pendidikannya di Madrasah Aliyah MAI (Madrasah Arabiyatul Islamiyah) namun tidak tamat dan beliau hijra ke Ujung Pandang (Makassar) untuk kembali melanjutkan sekolah di SMA Negeri 1 Unggulan Makassar dan tamat pada tahun 1960. Setelah itu beliau kembali melanjutkan pendidikannya di bangku perkuliahan Universitas Hasanuddin ( Fakultas Sastra) hingga pada tahun ke 3 Gurutta menderita sakit dan sempat dirawat sekitar 2 bulan.
Setelah beliau pulih dan dinyatakan sudah sembuh Gurutta kembali mendatangi kampus untuk melanjutkan kuliahnya, namun apa daya dan karena sesuatu hal gurutta tampaknya tidak mendapat respon positif dari pihak kampus sehingga beliau pada masa itu tidak sempat menyelesaikan studinya di Fakultas Sastra UNHAS Makassar. Beruntung pada saat itu Prof. Dr. H.A. Rahman Musa (Rahman Musa) baru saja menyelesaikan studinya di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta, beliau Rahman Musa mengabarkan bahwa saat ini perguruan tinggi Islam tersebut yang ada diyogjakarta sedang membuka pendaftaran seleski penerimaan mahasiswa baru. Tentunya ini menjadi sebuah kabar bahagia buat Rafii Yunus Maratan pada saat itu. Sehingga beliau bergegas berangkat ke Yogjakarta dan terdaftar sebagai mahasiswa di Program Studi Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta sejak tahun 1964 dan Gelar BA (sarjana Mudah) diraih pada tahun 1968, dan Drs tahun 1971. Inilah hikma yang didapatkan Anregurutta pada saat tidak sempat menyelesaikan kulianya di Makassar.
Alhamdulillah seiring perjalanan waktu akhirnya beliau bisa menyelesaikan Pendidikannya di IAIN Yogjakarta, Anregurutta Prof. Dr. H. M. Rafii Yunus Maratan, MA kembali ke Sengkang dan mengabdi di Pesantren As’adiyah, antara lain memberikan pengajian pesantren Bahasa Bugis di Masjid Agung (Masjid Ummul Quraa) serta sebagai tenaga guru honorer di Madrasah Aliyah antara tahun 1971 sampai 1973. Setelah itu beliau kembali melanjutkan pendidikan S2 ke Intitute Of Islamic Studies, Mc. Gill University Montreal, Quebec, Canada Jurusan Studi – studi Ke Islaman bidang kekhususan Teologi Islam, dan tamat tahun 1976 kemudian S3 diraih di Departemen of Near Eastern Studies University of Michigan, Ann Arbor, Michigan USA, Jurusan Studi studi ke Islaman bidang kekhususan Ulumul Qur’an, dan lulus tahun 1994.
Sejak tahun 1976 atau setamat dari Mc. Gill University, beliau menjadi dosen di Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar hingga tahun 2007. Setelah itu Anregurutta Prof. Dr. H. M. Rafii Yunus Maratan, MA memangku berbagai jabatan di lingkungan IAIN Alauddin Makassar. Antara lain, Sekertaris Fakultas Ushuluddin (1979 – 1980), Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin (1980 – 1986), Ketua Jurusan Perbandingan Agama (1981 – 1986), Ketua Jurusan Tafsir Hadits (1994 – 1996), Asdir I Bidang Akademik PPS IAIN Alauddin Makassar (1995 – 2003), serta Guru Besar bidang Ulumul Qur’an Fakultas Ushuluddin Makassar (2002 – 2006). Saat ini beliau masi aktif sebagai dosen S2 dan S3 di PPS IAIN Alauddin Makassar dari 1994.
Alumni Pondok Pesantren As’adiyah, pada pendidikan Ibtida’iyah 6 tahun, lulus pada 1971. PGA 4 Tahun, pada 1974 dan PGA 6 Tahun pada 1976. Saat ini, beliau dipercayakan sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta dan Rektor Institut PTIQ Jakarta.
Sebelumnya, Anregurutta Prof Nasar menjabat sebagai Wakil Menteri Agama Republik Indonesia (2011- 2014). Selain itu, AG. Prof Nasar juga termasuk anggota Tim Penasihat Inggris Indonesia yang didirikan oleh mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair.
Pondok Pesantren As’adiyah
JL. Masjid Raya No. 100 Sengkang 90941, Sulawesi Selatan Kab. Wajo, Indonesia