Media Center As’adiyah- Anre Gurutta Prof. Nasaruddin Umar, Ketua Umum PP Pondok Pesantren As’adiyah, memiliki kehormatan menjadi pembicara utama dalam sebuah simposium internasional yang bertujuan untuk memperingati 75 tahun Universal Declaration of Human Rights di Brigham Young University, Utah, Amerika Serikat. Simposium internasional tersebut digelar dari tanggal 1 hingga 3 Oktober 2023 untuk memperingati “30th Annual International Law & Religious Symposium” juga sebagai peringatan hari lahir J. Reuben Clark Law School, University of BYU, Utah, Amerika Serikat.
Simposium ini mengangkat topik tentang Perlindungan Hak untuk Kebebasan Berpikir, Kesadaran, dan Agama (Protecting the Right to Freedom of Thought, Conscience and Religion) yang dihadiri oleh 180 delegasi dari berbagai negara yang merupakan para tokoh pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) dan pemimpin agama.
Indonesia diwakili oleh Mantan Menteri Luar Negeri RI Prof. Alwi Shihab, Sekretaris Jenderal Muhammadiyah Prof. Abdul Mukti, Mantan Ketua Umum Fatayat Anggia Ermarini, dan perwakilan dari Leimena Institute, Matius Ho, yang juga menjadi pembicara dalam simposium ini.
AG. Profesor Nasaruddin Umar memaparkan pidato yang menggugah para delegasi yang hadir. Pidato berdurasi 15 menit tersebut bahkan menginspirasi salah satu anggota streering sehingga mengusulkan untuk menindaklanjuti apa yang disampaikan anregurutta di simposium selanjutnya.
Salah satu poin yang mendapat apresiasi dari peserta adalah perlunya mengadopsi metodologi baru dalam membaca ulang kitab suci dari berbagai agama, yang nantinya akan mempertimbangkan tuntutan perkembangan zaman. Metodologi yang diusulkan mencakup perspektif Hak Asasi Manusia, kesetaraan gender, budaya lokal, dan tren kecenderungan dunia milenial, terutama dalam era Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence).
AG. Profesor Nasaruddin juga mengingatkan pentingnya membangkitkan kesadaran baru dalam mengakomodasi gagasan-gagasan dari kitab suci untuk mengantisipasi munculnya kesadaran baru di kalangan masyarakat milenial. Gurutta menyarankan pendekatan-pendekatan dalam membaca ulang kitab suci, termasuk Al-Qur’an.
“Jika pendekatan kita kepada Kita Suci selama ini didominasi pendekatan deductive-qualitative maka saat ini perlu diubah menjadi inductive-quantitative,” ungkap Anregurutta.
Menurut Anregurutta Profesor Nasaruddin pendekatan induktif-kuantitatif memberikan lebih banyak ruang bagi pengembangan kreativitas manusia daripada pendekatan deduktif-kualitatif. Anregurutta juga menekankan bahwa kitab suci harus dilihat sebagai sumber konfirmasi, bukan hanya sebagai sumber informasi. Kitab suci dapat mengonfirmasi hasil olah pikiran manusia sehingga hasil konfirmasi dari kitab suci tersebut dapat menjadi pentunjuk bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selain itu, AG. Profesor Nasaruddin merekomendasikan agar kitab suci dan tokoh-tokoh agama lebih diapresiasi oleh negara dan pemerintah secara simultan. Ia berpendapat bahwa mereka tidak hanya harus diapresiasi ketika menyelesaikan akibat dari sebuah masalah, tetapi juga harus dilibatkan dalam merumuskan sebab-sebab yang menyebabkan masalah tersebut muncul.
Sebagai penutup pidatonya, Profesor Nasaruddin menyampaikan rasa syukurnya sebagai warga Indonesia yang berhasil melewati fase-fase kritisnya dengan baik, dengan mengacu pada falsafah Bhinneka Tunggal Ika. (nm)