Rabu, 25-06-2025
  • Selamat datang di situs Pondok Pesantren As'adiyah Pusat Sengkang | Telah dibuka Pendafatan Santri Baru Tahun Pelajaran 2024/2025 untuk info selengkapnya silahkan visit psb.asadiyahpusat.org

Mengenang Anregurutta Malik

Diterbitkan : - Kategori : Berita

Media Center—Tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati haul Anregurutta Malik yang sedang berlangsung hari ini 25 Juni 2025. Bagi banyak orang, termasuk saya, nama beliau bukan sekadar bagian dari sejarah lokal Wajo atau pesantren As’adiyah. Ia adalah sosok yang hadir untuk memandu kita bagaimana cara memahami agama dengan moderat, menaruh hormat, dan memaknai keteladanan.

Nama asli beliau, Abdul Malik Muhammad. Masyarakat lebih akrab memanggil beliau dengan sebutan “Anregurutta Malik”. Panggilan yang merefleksikan takzim atas pengabdian beliau sepanjang hidup.

Saya pertama kali “masuk” ke dunia Anregurutta Malik ketika menulis buku biografi beliau, Pengabdian Tanpa Batas. Awalnya, saya membayangkan ini akan menjadi kerja dokumentasi biasa: menyusun riwayat hidup, menelusuri arsip, mengumpulkan kesaksian. Tapi seiring proses berjalan, saya malah merasa sedang diajak menyimak kembali satu wajah keulamaan yang sederhana tapi berpengaruh.

Anregurutta Malik memimpin Pesantren As’adiyah di Sengkang selama puluhan tahun, pesantren besar di Sulawesi Selatan yang sudah melahirkan banyak tokoh dan guru agama. Tapi ia sendiri tidak pernah menampilkan diri sebagai orang penting. Dalam banyak kesaksian, beliau justru dikenal sebagai orang yang apa adanya. Tidak banyak bicara soal posisi, tapi orang tahu bahwa ia memang dituakan.

Beliau adalah salah seorang murid dari KH. Muhammad As’ad, atau Gurutta Sade, ulama besar Wajo yang mendirikan Pesantren As’adiyah. Hubungan antara keduanya bukan hanya hubungan guru dan murid dalam arti formal, tetapi juga hubungan kepercayaan dan kesinambungan visi. Dari Gurutta Sade, beliau mewarisi fondasi keilmuan dan semangat pengabdian yang kuat.

Selain belajar di dalam negeri, beliau juga pernah menuntut ilmu langsung dari para ulama Sunni di Mekkah. Di sana, beliau mendalami berbagai disiplin ilmu agama secara lebih sistematis. Pengalaman belajar di dua lingkungan ini—pesantren lokal dan pusat keilmuan Islam internasional—membentuk keluasan pandangan beliau dan keteguhan dalam bersikap.

Ilmu beliau lengkap. Bukan hanya karena keluasan materi yang dipelajari, tetapi juga karena ketekunan dalam menjalaninya. Kombinasi antara ilmu, adab, dan pengalaman menjadikan beliau sosok yang dipercaya dalam berbagai persoalan keagamaan di Sulawesi Selatan. Beliau tidak hanya dikenal di lingkungan pesantren, tetapi juga didengar dalam forum-forum masyarakat yang lebih luas.

Salah satu hal yang paling sering dikenang orang dari Anregurutta Malik adalah ceramah-ceramahnya. Beliau biasa menyampaikan pengajian dalam bahasa Bugis—bahasa ibu yang membuat pesan lebih sampai. Suaranya pelan, tidak tinggi, tapi terdengar jelas. Beliau bukan tipe penceramah yang menggebu-gebu. Tapi justru karena itu, orang lebih mendengar.

Isi ceramah beliau sederhana dan membumi. Beliau tidak memakai istilah yang susah dipahami, tidak menyampaikan tafsir dengan nada menghakimi. Tidak ada yang merasa disudutkan, tapi juga tidak dibuat terlena. Banyak kisah beliau selipkan—baik dari kitab maupun dari kehidupan sehari-hari. Kadang dengan humor halus, kadang dengan cerita yang membuat orang merenung. Semua disampaikan dengan tenang, seperti seseorang yang ingin mengajak berpikir, bukan mengatur.

Beliau tahu bagaimana berbicara agar bisa dipahami. Tidak memaksakan gaya, tidak memaksa orang setuju. Tapi justru karena itu, orang merasa nyaman. Banyak yang datang ke majelis beliau bukan karena ingin mencari sensasi atau gaya bicara yang menghibur, tapi karena merasa butuh arahan. Dalam suasana yang sederhana itu, orang menemukan tuntunan.

Yang juga penting, Anregurutta Malik tidak menjauh dari urusan sosial dan politik. Beliau pernah menjadi anggota DPRD Wajo dari partai PPP. Di masa-masa sensitif, beliau sering menjadi penengah. Tidak menghakimi, tapi memberi pandangan yang menenangkan. Ia menjaga jarak, tapi tidak melepaskan diri. Ia terlibat, tapi tahu batas.

Kini, setelah beliau tiada, yang tertinggal bukan hanya nama. Tapi cara beliau membuat banyak orang merasa teduh. Tidak semua tokoh punya pengaruh seperti itu—pengaruh yang datang bukan karena kekuasaan, tapi karena sikap.

Haul ini bukan sekadar acara tahunan. Bagi saya, ini adalah kesempatan untuk kembali mendekat pada nilai-nilai yang dulu beliau jalani. Keteladanan, jika tidak dijaga, bisa mudah hilang. Tapi selama kita masih mengingat—dalam cerita, dalam sikap, dalam cara bersikap tenang di tengah keramaian—warisan beliau tidak benar-benar pergi.

Dan barangkali itu yang paling penting hari ini: tidak hanya mengenang Anregurutta Malik, tapi bertanya pada diri sendiri, apa yang masih bisa kita teruskan dari warisan beliau. Islam moderat dan bersahaja. (Pepi Albayqunie)

Pengumuman

Agenda

Pondok Pesantren As’adiyah

JL. Masjid Raya No. 100 Sengkang 90941, Sulawesi Selatan Kab. Wajo, Indonesia

0853 3344 4993

info@asadiyahpusat.org

www.asadiyahpusat.org