Media Center As’adiyah – Takdir sering menjadi topik yang menarik untuk dibahas dalam kajian keislaman. Banyak orang bertanya-tanya, sejauh mana manusia memiliki kendali atas takdirnya? Dalam sebuah kajian, Anre Gurutta Prof. Nasaruddin Umar membahas pertanyaan ini secara mendalam. Dalam pemaparannya, Anre Gurutta memberikan perspektif yang menarik dan mendalam mengenai konsep takdir, persepsi, dan kualitas individu.
Takdir dan Persepsi: Penilaian yang Subjektif
Anre Gurutta menekankan bahwa baik atau buruknya takdir sangat dipengaruhi oleh persepsi individu. Persepsi inilah yang menentukan bagaimana seseorang memandang suatu keadaan. “Baik dan buruk adalah penilaian yang subjektif,” ungkap Anre Gurutta. Dengan kata lain, sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang bisa jadi tidak memiliki dampak serupa bagi orang lain, tergantung pada cara pandangnya.
Lebih lanjut, Anre Gurutta menggarisbawahi bahwa alih-alih merisaukan tentang takdir, manusia seharusnya lebih berfokus pada peningkatan kualitas diri, baik secara individu maupun spiritual. Menurut Anre Gurutta, individu yang memiliki kualitas yang matang akan mampu menerima setiap takdir dengan ikhlas. Sebaliknya, individu yang kualitas dirinya kurang baik cenderung mudah berputus asa ketika menghadapi takdir yang dianggap buruk, bahkan enggan berusaha memperbaiki keadaan.
“Jika kualitas individu itu bagus, maka takdir apa pun yang didapatkan akan diterimanya dengan ikhlas. Namun, jika kualitas individu tersebut kurang, maka ketika diberi takdir yang buruk, ia akan berputus asa dan selalu merasa buruk,” jelasnya.
Memahami Konsep Takdir: Qada dan Qadar
Dalam Islam, takdir secara bahasa berarti ketetapan atau ukuran. Anre Gurutta menjelaskan bahwa takdir terbagi menjadi dua, yakni qada dan qadar. Qada adalah ketetapan mutlak dari Allah SWT yang tidak dapat diubah, seperti waktu kelahiran atau kematian seseorang. Sementara itu, qadar adalah ketetapan yang masih dapat diupayakan untuk diubah melalui ikhtiar dan doa.
Takdir yang termasuk dalam kategori qadar ini memberikan ruang bagi manusia untuk berusaha memperbaiki keadaan hidupnya. Dengan kata lain, takdir bukanlah akhir dari segala perjuangan, melainkan sebuah peluang untuk terus berupaya dan berdoa.
Faktor Eksternal dan Internal dalam Mengubah Takdir
Anre Gurutta juga membahas bahwa perubahan takdir dapat dilakukan melalui faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal meliputi doa dari orang tua, keluarga, atau orang lain yang mendoakan kebaikan bagi kita. Doa ini diyakini dapat membawa keberkahan dan perubahan positif dalam hidup seseorang.
Sementara itu, faktor internal adalah usaha yang dilakukan oleh individu itu sendiri. Usaha ini mencakup kerja keras, kreativitas, serta sikap pantang menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Kemalasan dan keputusasaan, menurut Anre Gurutta, adalah penghalang utama dalam meraih perubahan takdir.
Kesimpulan: Kualitas Diri adalah Kunci
Pembahasan ini mengajarkan bahwa manusia tidak seharusnya terjebak dalam kerisauan tentang takdir. Kunci utamanya adalah memperbaiki kualitas diri, baik dari segi individu maupun spiritual. Persepsi yang baik, usaha yang gigih, dan doa yang tulus menjadi elemen penting untuk menghadapi dan bahkan mengubah takdir menuju kehidupan yang lebih baik.
Pesan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa setiap individu memiliki potensi untuk meraih perubahan, asalkan ia mau berusaha dan tidak menyerah pada keadaan. Takdir bukanlah tembok yang membatasi, melainkan sebuah jalan yang dapat ditempuh dengan penuh keyakinan dan optimisme.(nm)