MESKI sejarah masuknya Islam di Wajo dikaitkan dengan kedatangan tiga ulama dari Minangkabau pada abad ke-16, yakni melalui Datuk Ri Bandang, Datuk Ditiro dan Datuk Patimang, akan tetapi beberapa bukti-bukti sejarah menggambarkan bahwa Islam sudah tersiar di Wajo sejak abad ke-13.
Hal ini dapat ditelusuri dari jejak sejarah kedatangan Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, yang masih merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang dikenal sebagai Wali Songo, yakni Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel serta Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
“Kalau dilihat dari kedatangan Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini yang masih merupakan cucu turunan dari Nabi di Wajo pada tahun 1320, maka dipastikan Islam di Wajo sudah lebih dulu daripada pelantikan Arung Matowa Wajo pertama, yakni Latenri Bali yang baru dilantik menjadi arung matowa pada tahun 1399,” kata budayawan Wajo, Sudirman Sabang, belum lama ini.
Terungkapnya sejarah Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini, kata dia, mencuat pada seminar pengajuan Syech Yusuf sebagai pahlawan nasional, beberapa waktu lalu. Jamaluddin Assagaf Puang Rahmat yang menjadi pemateri kala itu, menyebut keberadaan Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini di Wajo yang kemudian lebih dikenal dengan gelar Syechta Tosora, yang berarti Syech kita di Tosora.
“Jamaluddin Assaggaf mengutip buku salah satu guru besar universitas kebangsaan Malaysia Abdul Rahman Al Ahmadi Malaysia. Dalam buku tersebut dijelaskan Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini berasal dari Dinasti Fatimiah yang juga merupakan leluhur sejumlah Wali di tanah Jawa,” imbuh Sudirman.
Hanya saja, kata Sudirman, saat itu penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syechta Tosora masih bersifat individual. Barulah pada abad ke-16 melalui penyebaran agama Islam oleh Datuk Ri Bandang, Datuk Ditiro dan Datuk Patimang, Islam diterima sebagai agama kerajaan di Wajo.
Selain itu, salah satu bukti Islam sudah ada di Wajo sebelum ketiga datuk asal Minangkabau tersebut, adalah kehadiran penyiar agama Islam yang bernama Nakhoda Bonang pada tahun 1567, pada masa pemerintahan Lamungkace Toaddamang. Namun, pada masa itu kehadiran Islam belum terlalu diterima dengan baik oleh masyarakat Wajo.
“Sehingga, setelah mempelajari karakter orang Bugis yang berdiam di Johor, maka diutuslah tiga datuk asal Minangkabau tersebut untuk menyebarkan agama Islam di wilayah Sulawesi pada abad ke-16, termasuk di Wajo,” imbuh Sudirman.
Bukti keberadaan Sayyid Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini di Wajo, yakni dengan adanya makam Syechta Tosora ini di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, yang berdekatan dengan makam tokoh-tokoh penting kerajaan Wajo. Salah satunya, arung Betteng Pola.
Selain sejumlah tokoh kerajaan, juga terdapat sejumlah makam yang diyakini sebagai pengikut Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini. Yang menarik salah satu makam yang diberi nama Syech Abd Rahman Sarape’e, yang kemungkinan masih merupakan keturunan Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini atau pengikutnya yang beristrikan salah satu bangsawan bugis.
Selain sejumlah makam tua, di lokasi tersebut juga terdapat mesjid tua yang kini tinggal puing yang diperkirakan dibangun pada tahun 1621.
Hingga saat ini, makam Syechta Tosora tersebut masih ramai dikunjungi oleh pesiarah dari Jawa, terutama pada bulan Safar. Ratusan pesiarah terutama Habib dari Jawa datang hanya untuk bersiarah di makam tersebut.
Sumber : (Jumardi Nurdin/Koran SINDO)