Tradisi “ber-selancar” di dunia maya menjadi fenomena baru. Media sosial (medsos) memang sangat menarik perhatian. Tanpa sengaja dan tanpa dirasa terkadang kita sudah menghabiskan energi dan waktu berjam-jam hanya membaca pesan WA, Fb, Tweeter, dan lainnya.
Namun, daya dan minat baca menjadi redup jika kita disuguhi buku bacaan yang agak tebal, terkadang membaca daftar isinya saja malas. Apalagi memabaca isinya.
Lebih parah lagi, pada umumnya netizen hanya membaca judul tanpa mendalami konten-nya. Tidak jarang terjadi ujaran kebencian lahir dari sebuah statemen yang belum dimengerti dan langsung diviralkan.
Itulah salah satu keunikan sekaligus kehebatan masyarakat Indonesia baru baca kovernya sudah langsung paham kontennya. Hehe…
Hari ini, saya diminta oleh salah seorang netizen membahas pernyataan Dr. Zakir Naik, mengenai penulisan dan bacaan إن شاء الله. Tentu yang dimaksudkan adalah transliterasi In Sya Allah atau In Sha Allah, mana yang tepat dan mana yang kurang tepat.
Saya tidak berani membenarkan atau menyalahkan salah satu dari kedua transliterasi tetsebut. Boleh jadi transliterasi yang digunakan dalam negaranya berbeda dengan yang digunakan dibelahan dunia lain termasuk Indonesia. Apalagi jika itu dikaitkan dengan bahasa inggris. Saya hanya dalam kapasitas membantu memberikan argumentasi berdasarkan pemahaman terhadap bahasa arab.
Dahulu, pada zaman risalah, Rasulullah ditantang sekolompok pemuka kafir quraisy. Mereka bertanya kepada nabi tentang “kiamat, ruh, dan Zulqarnain” nabi menjawab “Besok” saya akan menjawab kalian. Nabi sengaja menangguhkan jawaban karena berharap ada wahyu yang turun kepadanya sebagai penjelasan dari pertanyaan mereka.
Keesokan harinya mereka datang menagih janji nabi tentang penjelasan “kapan terjadinya kiamat, apa itu ruh dan siapa itu Zulqarnain?”
Nabi tidak dapat menjawab karena rupanya wahyu yang beliau tunggu dari Allah swt belum ada. Dalam masalah seperti ini memang nabi memilih tawaqquf atau memilih diam sambil menunggu dalil dari pada menjawab sesuatu yang tidak jelas.
Dalam beberapa literatur klasik seperti Asbab al nuzul lilwahidi mengabarkan bahwa wahyu yang ditunggu nabi itu turun setelah beberapa hari; ada yang mengatakan 15 hari, ada juga yang mengatakan satu bulan lebih.
Setelah wahyu yang ditunggu itu turun, ternyata bukan jawaban yang diharapkannya, melainkan teguran kepada nabi karena telah mengatakan sesuatu tanpa menyandarkan kepada Allah.
ولا تقولن لشيئ إني فاعل ذلك غدا إلا أن يشاء الله
“Janganlah kamu mengatakan saya akan melakukan sesuatu itu “besok” kecuali dengan kehendak Allah”. Maksudnya In Sya Allah.
Ditegaskan bahwa ketika nabi berjanji akan menjelaskan pertanyaan pemuka Quraisy itu, beliau tetap berharap jawaban dari Allah, namun beliau lupa mengucapkan إن شاء الله
Teguran kepada nabi itu, kemudian menjadi syariat bagi umat Islam bahwa apapun yang akan mereka lakukan harus menyandarkan rencananya kepada Allah.
Barangkali peristiwa penting yang pernah terjadi pada diri nabi itulah yang membuat umat Islam sangat sensitif, sehingga mereka tidak ingin satu kosa kata pun dari ajarannya terabaikan apalagi berubah.
Dalam tradisi ilmu nahwu, إن شاء الله tersusun dari tiga kata yaitu In, Syaa’a dan Allah. In berati jika, Syaa’a bermakna kehendak dan lafal Allah adalah salah satu nama dari Tuhan yang disembah oleh manusia. Dari tiga rangkaian kata menjadi kalimat, dapat diterjemahkan “jika Allah menghendaki atau jika Allah berkehendak”.
Pernyataan tersebut dalam agama Islam disebut penyerahan diri kepada kehendak yang mengatur segala sesuatu yaitu Allah. Manusia hanya berfikir dan berencana namun Allah yang menentukan. Pernyataan kesanggupan melakukan sesuatu harus disandarkan kepada Allah swt.
Transliterasi yang digunakan UIN Alauddin Makassar dan dihampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia huruf ش di tulis dengan fonem “Sy” bukan :”Sh”. Sedangkan huruf ص ditulis dengan fonem “Sh”.
Apa perbedaan antara kedua huruf tersebut?
Baca selengkapnya disini