Hari-hari Nahar sudah tampak di depan mata, ibaratnya menjelang tamu di depan sebuah pintu. Ada banyak kegembiraan dan suka cita yang senantiasa ditunggu-tunggu oleh umat Islam di seluruh dunia. Ada banyak ibadah yang dianjurkan selama di hari Nahar tersebut, di antaranya adalah ibadah kurban.
Sama halnya dengan ibadah lainnya, ibadah kurban tentu tidak lepas dari masalah fikih. Di antara sekian banyak masalah fikih terkait ibadah kurban adalah tindakan hukum seorang muslim yang menggabungkan niat berkurban dan akikah sekaligus. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah ketika niat tersebut dilaksanakan dengan hanya satu hewan saja dan atau tidak bisa menentukan yang mana didahulukan pelaksanaannya.
Kata Aqiqah, adalah (الشعر الذي يكون علي رأس الولد حين يولد), rambut yang ada pada kepala bayi saat dilahirkan. Dikatakan demikian, karena rambut tersebut dipotong ketika menyembelih hewan [al-Majmū’, imam al-Nawawī, Juz VIII, Jeddah. Maktabah al-Irsyād, h. 409]. Sedangkan, Qurbān, adalah, ما يذكي من النعم تقربا إلى الله تعالي في أيام النحر بشروط مخصوصة)), menyembelih hewan sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah swt. dengan ketentuan khusus.
Bagi yang memiliki kemampuan finansial yang cukup, bisa melaksanakan dua niat, yakni berkurban dengan 1 hewan dan akikah dengan 1 hewan pula. Jika memiliki dua hewan dengan dua niat tersebut, maka sebaiknya melakukannya secara runut satu persatu. Karena pelaksanaannya pada hari Nahar, niat yang pertama dilaksanakan adalah berkurban, lalu dilanjutkan dengan akikah. Hal itu menjadi lebih utama untuk dilakukan.
Namun, hukum tersebut bisa berubah jika kondisi dan situasi orang tua bayi atau anak tersebut tidak memungkinkan. Pelaksanaan kurban dan akikah bisa digabungkan, sehingga niatnya berkurban dan akikah dengan 1 hewan yang sama.
Ada dua pendapat ulama tentang penggabungan niat dengan 1 hewan tersebut, yaitu pendapat yang membolehkan, seperti imam Ahmad bin Hanbal dan pendapat yang tidak membolehkannya, seperti imam ibn Hajar al-Haitami (salah satu pengikut mazhab Syafii).
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Ahmad ibn Hanbal membeli seekor hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya. Pada saat itu Abdullah, putra beliau masih kecil, maka beliau menyembelih hewan kurban tersebut dengan niat kurban sekaligus akikah Abdullah.
Imam Al-Ramlī, salah satu pengikut mazhab Syafii, berpegang sama dengan imam Ahmad Ibn Hanbal, yaitu membolehkan dan tentu akan menuai pahala dari dua ibadah secara bersamaan. Pahala yang berlipat ganda di hari Nahar.
Imam al-Nawawī dalam kitab al-Majmū’, (Juz VIII, Jeddah. Maktabah al-Irsyād, h. 409), mengatakan:
قال النووي ـ رحمه الله ـ في كتابه المجموع
لو ذبح بقرة أو بدنة عن سبعة أولاد أو اشترك فيه جماعة جاز سواء أرادوا كلهم العقيقة أو أراد بعضهم العقيقة وبعضهم اللحم
“Imam Nawawi berkata: Seseorang menyembelih sapi atau lembu untuk akikah tujuh anak, atau berkongsi, baik meniatkan seluruhnya untuk akikah dan sebagain untuk kurban, maka dibolehkan.”
Analisis rasional pandangan ulama yang membolehkannya dapat dikiaskan kepada beberapa hukum syariat yang lain. Misalnya, apabila hari Id bertepatan hari Jumat, maka apabila telah menghadiri dan mendengarkan khutbah Salat Id, maka tidak apa-apa jika tidak melaksanakan salat Jumat lagi pada hari itu. Pendapat ini dipakai dalam mazhab Ḥanābilah.
Analogi lain, jemaah salat yang tidak sempat salat tahiyatul masjid, lalu bergabung salat berjemaah, maka ia mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala tahiyat dan pahala berjemaah.
Contoh lain, hari Arafah yang jatuhnya bertepatan hari Senin, menggandakan niat untuk melaksanakan keduanya secara bersamaan mendapatkan pahala ganda pula.
Terakhir, mandi hari raya Id dan hari Jumat. Apabila meniatkan salah satunya, maka mendapatkan dua pahala sekaligus, yakni pahala mandi Id dan mandi hari Jumat.
Semua kias tersebut dapat menjadi alasan hukum menggabungkan niat akikah dan kurban sekaligus dengan seekor hewan.
Dr. H. Abdul Waris Ahmad, S.HI., M.HI
(Dosen IAI dan Ma’had Aly As’adiyah Sengkang)