NU atau Nahdlatul Ulama yang mengusung nilai-nilai Aswaja dikenal sebagai organisasi masyarakat Islam berwatak kebangsaan. Watak kebangsaan tersebut sesungguhnya telah melekat pada sejarah dan jati dirinya. Ciri khas NU sejauh ini tampaknya memang hanya dilihat dari manifestasinya dalam bentuk toleransi dalam kehidupan beragama. Padahal sikap tersebut hanya salah satu ekspresi paham kebangsaan NU.
Kelahiran NU merupakan bagian dari dinamika dan pertumbuhan bangsa, yakni sebagai wujud dari kegairahan luhur para Ulama dalam membangun peradaban besar. Para pendiri NU dengan keunggulan komparatifnya secara gigih dan penuh perjuangan menglola pilar-pilar perbedaan sehingga bisa mewujudkan harmonisasi yang konsisten. Disini, kita temukan titik koordinatnya, ketika kita sama-sama membincangkan idealisasi NU, yaitu NU yang reformis dan dinamisyang senantiasa dianungi oleh spirit moral yang bercahaya. Artinya bahwa NU yang dinamis merupakan instrumen penting bagi proses perwujudan negeri yang berperadaban nan bercahaya. Dinamika dalam tubuh NU tidak bisa kita soroti hanya sebatas dari perspektif doktrin ke-NU-an, soal tarik menarik perbedaan tafsir atas khittah NU, atau keberadaan kelompok-kelompok politik saja, namun juga harus dilihat dari totalitasnya, sebagai bagian tak terpisahakn dari dinamika kehidupan berbangsa.
Jiwa kebangsaau NU mengacu pada kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Paham ini dengan sendirinya mengandung semangat menghargai tradisi, pluralitas budaya dan martabat manusia sebagai makhluk budaya. Dalam perspektif kebangsaan semacam ini lokalitas mendapatkan tempat terhormat, yang dalam nasionalisme Eropa cenderung digeser atau bahkan disisihkan ke batas akhir kepunahan atas nama modernitas.
Kepatriotan yang bersifat kultural tersebut perlu ditegaskan, karena kelahiran NU sejak awal berdirinya tidak pernah menyingkirkan nilai-nilai lokal. Sebaliknya ia berakulturasi dengan tradisi dan budaya setempat. Faktor inilah yang kemudian mengantar pada kesuksesan dakwah islamiyah yang dilakukan para Walisongo dan Ulama-Ulama Nusantara dimasa lalu. Sehingga akulturasi inilah melahirkan islam yang ramah terhadap nilai budaya lokal, menghargai perbedaan keyakinan, tradisi, dan warisan budaya Nusantara. Latar belakang inilah yang mendorong kalangan kiai pesantren yang menjadi penggerak pembentukan organisasi NU yang menjadi sangat prihatin dengan kemunculan penguasa Wahaby di Arab Saudi pada awal abad ke-20 yang cenderung memaksakan pemberlakuan paham keislaman puritan-radikal dan tidak toleran terhadap perbedaan yang bisa berimplikasi menimbulkan disharmoni dalam kehidupan beragama di Tanah air.
Kalangan pesantren khawatir petilasan makam nabiyullah Muhammad Saw dan simbol-simbol keterkaitan islam dengan masa lalu dihancurkan atss nama bid’ah yang pada akhirnya berdampak diskriminasi dan mengganggu kehidupan beragama. Kekhawatiran Kiai pesantren lainnya adalah manakala hanya paham Wahaby-lah yang boleh berkembang di Mekkah, serta tidak memberikan ruang hidup bagi mazhab lainnya. Seperti yang tercatat dalam sejarah, dimana para Kiai membentuk komite Hijaz dari utusan kalangan pesantren dan ternyata mampu mengatasinya dengan cara menemui dan berbicara langsung dengan Raja Ibnu Saud. Komite tersebut dicatat dalam sejarah sebagai embrio yang kemudian cikal bakal lahirnya NU pada tanggal 31 Januari 1926.
Kiriman Tulisan : Alhafizh Jusman, S.Pd.I